Sampai saat Augustus berkuasa, total penjaga praetorian ada sekitar 9000 orang yang direkrut dari legium-legium angkatan bersenjata biasa dari daerah Etruria, Umbria, Latium (tiga provinsi ini ada di Italia tengah), Macedonia, Hispania Baetica, Hispania Tarraconensis, Lusitania, dan Illyricum. Pasca kematian kaisar Augustus, penjaga praetorian menjadi agresif dan menandai masa keterlibatan politik angkatan bersenjata ini dalam sejarah kekaisaran Roma. Sejak saat itu, istilah ’praetorian’ sering diasosiasikan dengan intrik, konspirasi, pertumpahan darah, dan pembunuh bayaran. Nama-nama kaisar roma seperti Culigula, Galba, Pertinax, Aurelian, Probus dan banyak lagi lainnya adalah penguasa yang dibunuh oleh penjaga Praetorian. Penjaga-penjaga itu dibayar oleh lawan politik kaisar yang berambisi untuk berkuasa. Sejak saat itu, para praetorian hanya akan mengikuti agenda atau orang yang dirasa sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini berlangsung terus hingga masa pemerintahan Constantine yang membubarkan praktik praetorianisme.
Dalam dunia modern, frase ’penjaga praetorian’ digunakan untuk menggambarkan kelompok eksklusif yang secara pribadi melayani penguasa di suatu negara, terutama biasanya diktator seperti misalnya Imperial Guard milik Napoleon I, atau tentara SS milik Adolf Hitler. Sedangkan praetorianisme digunakan untuk menjelaskan praktik kediktatoran militer atau keterlibatan militer dalam politik suatu negara. Samuel Huntington dalam bukunya Military and State menjelaskan bahwa praetorianisme bisa diartikan sebagai politisasi militer atau militerisasi politik. Politisasi militer bisa diidentifikasi apabila tentara menjalankan tugas-tugas non-kemiliteran seperti misalnya membuat kebijakan baik domestik maupun luar negeri, terlibat secara aktif dalam pergantian jabatan pemerintahan atau memegang jabatan politis dalam pemerintahan. Sedangkan militerisasi politik adalah penggunaan koersif angkatan bersenjata dari aktor-aktor politik dalam suatu negara, “The officer corps is shot through with factionalism. Lawmakers and administrators fall into disarray. Politicians seek power not by rallying popular support but by cultivating party connections. The populace at length withdraws into a sudden apathy, an utter cynicism towards the political process.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar